TEMPO.CO , Yogyakarta: Suasana salah satu kafe di perkampungan turis Yogyakarta itu tampak berbeda dalam dua pekan terakhir ini. Kafe yang hampir tiap malam riuh oleh kalangan ekspatriat berbagai belahan dunia untuk mengisi perut atau sekadar ngopi-kongko itu tak lagi sekadar bersuasana hangat temaram.

Belasan piringan hitam yang tertempel di tiap sisi dinding membuat kafe itu terlihat lebih kental dengan ciri retro-klasik, sehingga menimbulkan kesan jadul (zaman dulu).

Uniknya, piringan hitam yang menempel itu tidak lagi berbentuk bulat. Bagian piringan hitam itu sebagian sudah dirombak, dipotong, dan dimodifikasi hingga membentuk obyek-obyek baru seperti siluet. Ada yang berbentuk rombongan figure berjalan layaknya pose personel kelompok legendaris The Beatles dalam album Abbey Road.

Bedanya, figur itu sedang menuntun sepeda klasik, dari jenis onthel hingga low ride. Sedangkan setengah bagian piringan itu dibiarkan dalam bentuk aslinya, dengan separuh label judul masih tertempel.

Ada pula satu piringan hitam yang bagian tengahnya habis dipotong, sehingga membentuk sepeda onthel, lengkap dengan latar lampu khas Yogyakarta. Suasana romantis burung-burung yang menghinggapi sepeda onthel itu menambah ciri klasik. Semua piringan itu diberi mesin jam, sehingga berfungsi sebagai penunjuk waktu.

Piringan hitam yang dibentuk menyerupai siluet dan diberi judul Joyride Series itu merupakan karya perupa bekas anggota seniman Apotik Komik, Arie Dyanto, yang dipamerkan dalam pameran tunggal bertajuk "Broken Record" di Via-via Traveller Café pada 11-31 Juli 2012.

“Konsepnya memang mengolah bahan bekas dengan sentuhan seni yang berbeda sekaligus fungsional, seperti merchandise,” ujar Arie kepada Tempo, Rabu, 25 Juli 2012.

Untuk membuat objek detail dalam karyanya, perupa yang aktif dalam forum Indonesia Custom Bike ini memanfaatkan mesin laser. Mula-mula foto yang memuat file tipe JPEG atau Bitmap diolah terlebih dulu ke dalam format vektor agar terbaca oleh mesin.

Dalam ramuan konversi, dia memilih model siluet yang mengesankan unsur realis. Setelah jadi, format foto vektor yang diolah itu dipotong dengan mesin laser.

Arie, yang dikenal sebagai seniman street art, menuturkan piringan hitam yang dipakainya sudah menggunakan serat polyvinyl chloride (PVC) yang cenderung elastis dan kuat mendapat tekanan laser, sehingga tidak lumer. Tapi, kata dia, karya itu tidak bisa diproduksi dalam jumlah banyak untuk satu file karena mesin laser tak tahan menyorot bahan PVC. “Tidak bisa (diproduksi) massal.”

Obyek sepeda menjadi pilihan Arie untuk menggarap karyanya, yang mewakili perhatiannya terhadap fenomena urban belakangan ini. Menurut dia, sepeda tak hanya kembali menjadi kesadaran gaya hidup sehat yang bangkit di era modern, tapi juga mengalami reproduksi makna lagi dengan maraknya pegiat yang memproduksi sepeda di luar pakem yang diproduksi massal.

“Respons orang terhadap sepeda yang hidup di ruang-ruang kota mendorong penyesuaian bentuk sepeda yang kian praktis, juga bergaya indie,” kata dia.

Dalam pameran itu, Arie juga membuat sejumlah karya dengan menggunakan piring yang biasa dipakai untuk makan. Piring itu juga difungsikan sebagai jam dengan judul Diorama Series. Pada tiap piring diberi tempelan gambaran diorama sejarah perjuangan era kemerdekaan Yogyakarta, yang terinspirasi dari diorama koleksi Benteng Vredeburg.

“Diorama merupakan bagian yang bisa mewakili Yogyakarta, dari unsur art, selain tradisi yang sudah umum dikenal seperti batik,” kata dia. Untuk membuat gambar diorama itu, Arie menggunakan teknik digital print.

PRIBADI WICAKSONO Read more

The Rubik’s Cube, once called the "Magic Cube" has entertained and frustrated children and adults alike since it was first sold commercially in 1980. Each side of the cube consists of nine individual squares, that can be twisted and turned. Each turn moves the colors on each face of the cube. The object of the game is to end up with each face containing only a single color.

Though the Rubik’s Cube was intended for entertainment as a "brain game", it has more recently found its way into the hands of artist’s, emerging as art.

Mario Brothers in Rubiks Cube Art
These Rubik’s Cube art pieces depict characters from the popular Nintendo game, "Mario Brothers". The bright colors offered by Rubik’s Cubes are perfect for creating images of gaming characters. The squares of color mimic early computer and video game designs, giving the finished fan art work a pixellated effect.
mario_divided_.jpg

img_8853_crowd_a.jpg

rubik-cube-art.jpg

Da Vinci’s Mona Lisa Cubed

Leonardo da Vinci’s famous painting "Mona Lisa" has been recreated by many artists in many different ways. In this piece, using Rubik’s Cubes, the Mona Lisa takes on a pixelated effect.

monalisa-rubiks-cube-art_VMBWm_22974.jpg

Rubik’s Sistine Chapel
This Rubik’s Cube "painting" is in homage to "The Creation of Adam", a famous painting by Michelangelo which is situated in the Sistine Chapel. By using thousands of Rubik’s Cubes, the artists can lessen the pixelated effect caused by the squares of the puzzle. See more Fan Art Versions of Michelangelo’s Painting in the Sistine Chapel.

cube-works-studio-michelangelo-creation-of-man-rubiks-cube-art-guiness-record-e1305306628327.jpg?w=650&h=408

Rubik’s Cubes Home Decor

The plastic puzzle games are very versatile, in the right hands. They can be used to reproduce a favorite photograph, which can then be displayed as home decor. Shown below is a Rubik’s Cube artwork depicting the owner’s favorite pet. Note how the art work is not framed, allowing the viewer to see the cubes from a different angle.

cubismBAR_450x300.jpg

http://art-sci.blogspot.com/2011/07/rubiks-cubes-twist-and-turn-into.html

Dream Big by Peter Fecteau

by DANILO on Nov 3, 2011 |

Dream Big by Peter Fecteau

“Dream Big” was a year-long project in which Pete created a mosaic of Dr. Martin Luther King Jr. using 4,242 Rubik’s Cubes.

> petefecteau.com

Dream Big by Peter Fecteau

Dream Big by Peter Fecteau

Dream Big by Peter Fecteau

Dream Big by Peter Fecteau

Dream Big by Peter Fecteau

http://koikoikoi.com/2011/11/dream-big-by-peter-fecteau/

Jackie Chan Tak Suka Kekerasan

Posted: May 30, 2012 in Public

48180_201205020330351.thumb.jpg

(pict form : http://jackiechan.com/scrapbook/1838951–A-Special-Gift-from-a-Fan)

TEMPO.CO, Jakarta

Aktor laga Jackie Chan mengungkapkan bahwa film terbarunya akan menjadi film aksi terakhirnya. Berbicara dalam sebuah konferensi pers saat meluncurkan Chinese Zodiac di Cannes, Chan mengungkapkan, “Ini kemungkinan menjadi film laga besar saya yang terakhir.”

Pria kelahiran Hong Kong berusia 58 tahun ini, seperti dikutip BBC online edisi 20 Mei 2012, berkata, “Dunia sekarang terlalu dipenuhi kekerasan. Saya menyukai perkelahian, tetapi saya benci kekerasan.”

Film yang rencananya dirilis pada Desember 2012 ini merupakan serial ketiga dari Armour of God. Film tersebut pertama kali dirilis pada 1987.

“Saya ingin penonton tahu bahwa saya tidak hanya bisa berkelahi, tetapi juga bisa berakting. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, saya berkata, ‘Baiklah, sekarang saya akan menunjukkan kepada Anda, Jackie Chan yang sesungguhnya’.”

Tahun lalu, Chan membintangi film Karate Kid bersama Jaden Smith, anak lelaki aktor Will Smith, dan berperan sebagai mentor Smith bernama Mr. Miyagi.

Chan berkata, “Saya tidak hanya ingin menjadi aktor laga, saya ingin menjadi aktor yang sesungguhnya. Jadi, untuk sepuluh tahun terakhir, saya membintangi film-film lain seperti Karate Kid, di sana saya berperan sebagai pria tua.”

Chan memulai kariernya sebagai stuntman bersama bintang idolanya, Bruce Lee, dalam film Fists of Fury pada 1972 dan Enter The Dragon pada 1973. Sejak itu, ia telah muncul dalam lebih dari seratus film yang semua perannya dilakukan sendiri.

Dia mengaku semua tulang di tubuhnya pernah patah. Yang paling parah terjadi ketika ia jatuh dari pohon yang mematahkan tulang tengkoraknya. “Saya akan bertanya kepada tubuh saya, berapa lama saya bisa bertahan. Saya tidak muda lagi,” ujar Chan. Namun ia masih ingin membintangi Karate Kid 2 dan Rush Hour 4.

BBC | ARBA’IYAH SATRIANI

Read more

Kita sudah sering menyaksikan berbagai kemungkinan inovasi teknologi yang akan hadir di masa depan. Robot artificial intelegence, organ bionik, mobil terbang, wisata antar planet, sampai chip implant seperti di film Matrix. Sepertinya semua hanya soal waktu, kapan teknologi dikembangkan menjadi produk massal( tentu dengan segala pertimbangan termasuk kesiapan masyarakat sebaai konsumen).
Well, setidaknya beberapa sudah hadir di antara kita. Yeap! Sebut saja interface virtual seperti Cube buatan manufaktur Celluon di Seoul, Korsel. Cube Laser Virtual Keyboard adalah sebuah proyektor portable yang memproyeksikan keyboard secara utuh (63 tuts QWERTY) di berbagai permukaan.

Keyboard virtual yang berukuran sedikit lebih besar dari lighter ini juga comnpatible dengan berbagai OS dan gadget: Android, iPhone, iPad, maupun berbagai peripheral yang dilengkapi Bluetooth.

TECH http://celluon.com/products_mc_technology.php

Product Specifications
* Compatibility: iPhone 3GS/4, iPad (iOS4), Blackberry tablet, Android 2.0 and higher, Windows Phone 7, Windows XP/Vista/7, Mac OS
* Interface: Bluetooth HID and USB 2.0
* Keyboard Layout: 19mm sized QWERTY
* Detection rate: Up to 400 characters per minute
* Operating Surface
* Battery: Bertahan 150 minutes, 700mAh built-in rechargeable battery.
* Charges via USB. No drivers to install

Sebagai pelengkap, Celluon juga memproduksi mouse virtual "EvoMouse". Cukup hubungkan ke PC/Desktop melalui USB port atau bluetooth, pengguna cukup menggerakkan jari mereka untuk scroll, rotate, zoom, forward dan back, layaknya pada hardware mouse biasa.EvoMouse bahkan bisa mendeteksi tulisan tangan Anda.

YOUTUBE:

Bagai mana cara kerjanya ???

how_it_works.png

The projection laser displays the keyboard layout onto any opaque surface. Keystrokes are recognized and relayed via an invisible infrared layer combined with an optical sensor.

The recognition process works as follows: when the user presses a key on the projected keyboard, the infrared layer is interrupted. This produces IR reflections that are recognized by the sensor in three dimensions, allowing the system to assign a coordinate (keyboard character).

This product emits infrared light from the lower end of the product to detect objects such as fingers. When an object passes through the area illuminated by the infrared light source, any infrared light reflecting off the object is detected by the sensor. Information on the position and movement of the object is then analyzed to perform the product’s role as a keyboard.

PORODUSEN: http://celluon.com/index.php

sumber : http://www.klikgame.com/lifestyle/cube-laser-virtual-keyboard-masa-depan-telah-tiba

Perubahan No Hotline LG CIC (INFO)

Posted: March 5, 2012 in Public

LG Untuk Anda….

Bertepatan dengan tanggal 14 Februari 2012, LG Customer Service mengganti Hotline Call Center dari 0-800-123-7777 menjadi 14010. Dengan nomor yang lebih singkat ini harapan kami akan mudah diingat oleh para konsumen. Sehingga memudahkan konsmen untuk mengigat & menghafal nomor 14010.

Nomor tersebut bisa di akses dari seluruh Indonesia dengan menggunakan saluran PSTN, selular maupun CDMA. Dan untuk kenyamanan berkomunikasi lebih disarankan menggunakan PSTN karena hanya kenakan tarif local.

http://lguntukanda.com/2012/02/perubahan-no-hotline-lg-cic/